SLIDE1

Blogger templates

Kamis, 22 Desember 2016

Apakah Ada Jalan Menuju Kesempurnaan?

 
 
Para filosof sejak dulu mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berfikir. Mereka memahami bahwa esensi manusia tidak terlepas dari unsur hewaniah (kebinatangan) yang merupakan sisi persamaan antara manusia dengan jenis binatang lainnya, dan natiqiyah (pola fikir) yang membedakan mereka dari makhluk lainnya. Berdasarkan ini, para filosof menyimpulkan bahwa dalam waktu yang sama manusia adalah manusia (yang memikul unsur-unsur kemanusiaan) dan binatang (yang memiliki unsur-unsur kebinatangan).karena, manusia adalah hewan yang berpikir.

Di sisi lain, para teolog berpendapat bahwa manusia adalah eksistensi yang memiliki dimensi akal dan tabiat (potensi) seperti ghadab (marah), syahwat, dan hawa nafsu. Yang dengan kolaborasi kedua dimensi tersebut, manusia bisa melejit ke puncak kesempurnaannya yaitu kemanusiaannya, atau sebaliknya mendarat di dasar kehinaannya yaitu kebinatangannya. Semuanya tergantung bagaimana mereka memahami dan memanfaatkan kedua dimensi ini.
Lantas bagaimana manusia memanfaatkan potensi yang dimilikinya agar sampai kepada kesempurnaannya dan terhindar dari lubang kehinaannya?. 
Jawaban atas pertanyaan ini sejak lama telah diajukan oleh sang pemimpin  spritual manusia setelah Nabi saw, yaitu Imam Ali as. Dalam salah satu perkataannya beliau menjelaskan, "Sesungguhnya Allah azza wa jalla memberi malaikat akal tanpa syahwat, dan memberi hewan (binatang) syahwat tanpa akal, dan memberi manusia akal dan syahwat. Barang siapa yang menjadikan akalnya pemimpin atas syahwatnya, maka dia lebih mulia dari malaikat. Dan barang siapa yang menjadikan syahwatnya pemimpin bagi akalnya, maka dia lebih hina dari binatang," 
Hadits ini dengan gamblang menjelaskan bahwa satu-satunya jalan agar manusia mampu mencapai kesempurnaan adalah dengan menjadikan akal sebagai pemimpin bagi potensi lain yang ada dalam dirinya. Yaitu menjadikan akal sebagai satu-satunya filter yang senantiasa mengontrol dan mengatur segala aktifitas potensi-potensi tersebut. Dengan demikian, segala aktifitas dan perilaku manusia akan sesuai dengan akalnya. 
Dalam kumpulan Sya'irnya Imam Ali bin Abi Thalib menjelaskan,
Paling utama pemberian ar-Rahman kepada seseorang adalah akalnya
Kebaikan apapun tidak menyerupai keutamaannya
Jika Dia menyempurnakan akalnya
Maka sempurnalah akhlak dan budi pekertinya
Kesempurnaan akal menghiasi seorang pemuda di sosialnya
Meski dia kekurangan dalam pendapatannya.
Hinalah sosial orang yang kurang akalnya
Meski keturunan dan kedudukan membesarkannya.
Namun, jika manusia lebih mengutamakan potensi lain (seperti syahwat) dari akalnya, maka dia akan terjatuh ke dasar kehinaannya. Hal ini karena akal yang seharusnya menjadi filter  dalam setiap aktifitasnya, malah menjadi mesin penghasil yang menunjang kerakusan syahwat dan kehausan hawa nafsunya. 
Konsekuensi logisnya, kehidupan mereka akan senantiasa diwarnai dengan akhlak dan budi pekerti yang buruk dan tercela. Hal ini, karena  kelaziman pertama dari mengikuti hawa nafsu dan syahwat yang ditunjang oleh kecerdasan akal adalah lahirnya sifat-sifat tercela seperti rakus, pemarah, hasut, iri dan dengki, munafik, dan sifat-sifa tercela lainnya yang mengantarkan mereka ke lubang kehinaan.
Karenanya, al-Imam as menegaskan, " barang siapa yang menjadikan syahwatnya pemimpin dalam jiwanya, maka dia lebih hina dari binatang."
Berdasarkan hal di atas, jelaslah bahwa faktor utama kesempurnaan seseorang terdapat dalam dirinya, begitu juga sebaliknnya. Tinggal bagaimana dia memanfaatkan dan mengoperasikan faktor tersebut, apakah dioperasikan kejalan kesempurnaan, atau sebaliknya. wallahuallam.

0 on: "Apakah Ada Jalan Menuju Kesempurnaan?"