Para filosof sejak dulu mengatakan bahwa manusia
adalah hewan yang berfikir. Mereka memahami bahwa esensi manusia tidak terlepas
dari unsur hewaniah (kebinatangan) yang merupakan sisi persamaan antara manusia
dengan jenis binatang lainnya, dan natiqiyah (pola fikir) yang membedakan
mereka dari makhluk lainnya. Berdasarkan ini, para filosof menyimpulkan bahwa
dalam waktu yang sama manusia adalah manusia (yang memikul unsur-unsur
kemanusiaan) dan binatang (yang memiliki unsur-unsur kebinatangan).karena, manusia adalah hewan yang berpikir.
Di sisi lain, para teolog berpendapat bahwa
manusia adalah eksistensi yang memiliki dimensi akal dan tabiat (potensi)
seperti ghadab (marah), syahwat, dan hawa nafsu. Yang dengan kolaborasi kedua dimensi
tersebut, manusia bisa melejit ke puncak kesempurnaannya yaitu kemanusiaannya,
atau sebaliknya mendarat di dasar kehinaannya yaitu kebinatangannya. Semuanya
tergantung bagaimana mereka memahami dan memanfaatkan kedua dimensi ini.
Lantas bagaimana manusia memanfaatkan potensi
yang dimilikinya agar sampai kepada kesempurnaannya dan terhindar dari lubang
kehinaannya?.
Jawaban atas pertanyaan ini sejak lama telah
diajukan oleh sang pemimpin spritual
manusia setelah Nabi saw, yaitu Imam Ali as. Dalam salah satu perkataannya
beliau menjelaskan, "Sesungguhnya Allah azza wa jalla memberi malaikat
akal tanpa syahwat, dan memberi hewan (binatang) syahwat tanpa akal, dan
memberi manusia akal dan syahwat. Barang siapa yang menjadikan akalnya pemimpin
atas syahwatnya, maka dia lebih mulia dari malaikat. Dan barang siapa yang
menjadikan syahwatnya pemimpin bagi akalnya, maka dia lebih hina dari
binatang,"
Hadits ini dengan gamblang menjelaskan bahwa
satu-satunya jalan agar manusia mampu mencapai kesempurnaan adalah dengan
menjadikan akal sebagai pemimpin bagi potensi lain yang ada dalam dirinya.
Yaitu menjadikan akal sebagai satu-satunya filter yang senantiasa mengontrol
dan mengatur segala aktifitas potensi-potensi tersebut. Dengan demikian, segala
aktifitas dan perilaku manusia akan sesuai dengan akalnya.
Dalam kumpulan Sya'irnya Imam Ali bin Abi Thalib
menjelaskan,
Paling utama
pemberian ar-Rahman kepada seseorang adalah akalnya
Kebaikan apapun
tidak menyerupai keutamaannya
Jika Dia menyempurnakan
akalnya
Maka sempurnalah
akhlak dan budi pekertinya
Kesempurnaan akal
menghiasi seorang pemuda di sosialnya
Meski dia kekurangan
dalam pendapatannya.
Hinalah sosial orang
yang kurang akalnya
Meski keturunan dan
kedudukan membesarkannya.
Namun, jika manusia lebih mengutamakan potensi
lain (seperti syahwat) dari akalnya, maka dia akan terjatuh ke dasar
kehinaannya. Hal ini karena akal yang seharusnya menjadi filter dalam setiap aktifitasnya, malah menjadi
mesin penghasil yang menunjang kerakusan syahwat dan kehausan hawa nafsunya.
Konsekuensi logisnya, kehidupan mereka akan
senantiasa diwarnai dengan akhlak dan budi pekerti yang buruk dan tercela. Hal
ini, karena kelaziman pertama dari
mengikuti hawa nafsu dan syahwat yang ditunjang oleh kecerdasan akal adalah
lahirnya sifat-sifat tercela seperti rakus, pemarah, hasut, iri dan dengki,
munafik, dan sifat-sifa tercela lainnya yang mengantarkan mereka ke lubang
kehinaan.
Karenanya, al-Imam as menegaskan, " barang
siapa yang menjadikan syahwatnya pemimpin dalam jiwanya, maka dia lebih hina
dari binatang."
Berdasarkan hal di atas, jelaslah bahwa faktor
utama kesempurnaan seseorang terdapat dalam dirinya, begitu juga sebaliknnya.
Tinggal bagaimana dia memanfaatkan dan mengoperasikan faktor tersebut, apakah
dioperasikan kejalan kesempurnaan, atau sebaliknya. wallahuallam.
0 on: "Apakah Ada Jalan Menuju Kesempurnaan?"