Sekali
lagi, Tuhan itu adil dalam masalah apapun bagi orang-orang yang sadar dengan
fitrahnya. Akan tetapi, Tuhan tidak adil bagi orang-orang yang tidak sadar
dengan fitrahnya. Didalam Islam sendiripun, yang beriman adanya Tuhan,
terkadang menganggap bahwa Tuhan itu
tidak adil. Karena kenapa? Karena adanya perbedaan dari sisi sosial.
Sebenarnya, perbedaan sosial bukanlah suatu yang sedikit-sedikit kita sandarkan
kepada Allah Swt. Jangan sampai kita lupa, Allah Swt memberi kita ikhtiyar (kehendak bebas). Kebanyakan
manusia yang tidak menggunakan kesadaran fitrahnya berpendapat bahwa Allah Swt
memberikan ikatan jabr (determinasi)
terhadap ciptaan-Nya. Tidak, Allah Swt tidak mengikat makhluk-Nya dengan jabr (determinasi). Begitupula dalam
masalah sosial dan ekonomi. Di kehidupan ini, manusia bebas memilih apa yang
dia butuhkan, bahkan apa yang dia inginkan sekalipun. Manusia memilih dengan
pilihan mereka sendiri. Akan tetapi jika pilihan yang dia dapatkan menurut dia
tidak begitu membuat dia merasa puas dan senang dan bahkan membuat dia
menderita, maka mulailah dia menyandarkan bahwa Tuhan itu tidak adil. Seperti
itulah sebagian manusia, mereka tidak berfikir bahwa itu adalah pilihannya
sendiri.
Ada contoh yang akan penulis
paparkan disini dalam masalah sosial, yaitu didalam perbedaan sosial antara
Islam dan Barat, yang beriman kepada Allah Swt dan yang tidak beriman
kepada-Nya. Orang Islam beriman kepada Allah Swt, akan tetapi, hidupnya banyak
yang menderita, miskin, berkekurangan dari segi financial, dan lain-lain yang
seperti kita ketahui bersama. Jika dibandingkan dengan kehidupan Barat, mereka
hidup makmur, kaya, tidak kekurangan
dari segi financial, negaranya maju, sangat sedikit yang miskin.
Dari sini
bisa kita lihat bahwa Tuhan tidak adil. Dia membiarkan orang-orang yang beriman
kepada-Nya miskin, menderita, berkekurangan dari segi ekonomi dan membuat
orang yang tidak beriman kepada-Nya
kaya, makmur, serba berkecukupan dari segi ekonomi, hidupnya enak tidak seperti
orang Islam yang beriman kepada-Nya.
Muncullah
pertanyaan, apakah Tuhan adil dalam masalah tersebut? Yang harus kita ketahui
dahulu adalah bahwa semua perbuatan manusia itu tidak terlepas dari yang
namanya ikhtiyar (kehendak bebas).
Apa yang mereka dapatkan itu adalah dari pilihan mereka sendiri dan tidak ada
keterpaksaan dari Tuhan sedikitpun.
Manusia
bebas dalam menentukan pilihannya dan tindakannya, terlepas dari tekanan dan
paksaan dari pihak mana pun. Tuhan tidak mencampuri sama-sekali manusia dalam
menentukan tindakan dan pilihannya. Karena seseorang bebas menentukan
pilihannya dalam setiap kehendaknya, – yakni dengan suatu kehendak yang bebas
dan mandiri (free will) -, maka layak
baginya balasan atas perbuatan baiknya maupun perbuatan jahatnya, ini berarti
ranah kekuasaanNya atas kehidupan manusia terbatas. Artinya Ia tidak bersifat
Mahakuasa.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa Islam itu sebagian besar
miskin-miskin sementara orang barat yang tidak beriman kepada Allah Swt
kaya-kaya, yaitu:
•
Kurangnya
ilmu pengetahuan.
•
Sedikitnya
usaha dan selalu ingin yang namanya instan atau tidak mau repot-repot.
•
Tidak
adanya keinginan untuk maju dan bangkit.
•
Masuknya
para penjajah ke Indonesia dan menjajahnya, serta mengambil apa yang mereka
butuhkan dan membiarkan orang-orang Islam mati kelaparan dan menderita, dan
lain-lain.
•
Kesadaran fitrah
manusia menolak jabr (determinisme)
Manusia di dunia,
apakah dia beragama atau ateis, manusia jaman dulu atau jaman modern, yang kaya
dan yang miskin, manusia dari negeri maju ataupun negeri yang tertinggal, semua
percaya bahwa hukum harus mengatur dan berkuasa pada masyarakat dan
incividu-individu anggota masyarakat harus bertanggung jawab untuk melaksanakan
tugas-tugasnya dan siapa pun yang melanggar hukum dan tatanan harus memperoleh
suatu sanksi sebagai konsekuensi.
Ini jelas merupakan
suatu pemahaman yang berlandaskan pada kenyataan bahwa seorang manusia memiliki
kehendak bebas (free will) dalam
memilih dan melaksanakan tindakan-tindakannya, dan tidak dikendalikan oleh
“tangan-tangan gaib” di luar dirinya. Sehingga , oleh karena itu, ia menjadi
patut untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya.
Kesepakatan seluruh
manusia akan perlunya hukum, jelas menjadi bukti bahwa fithrah manusia sadar
bahwa pemahaman jabr (determinisme)
keliru, dan fithrah manusia sadar bahwa dirinya dikaruniai kebebasan memilih
tindakan-tindakannya. Karena ia benar-benar bebas memilih tindakan-tindakannya,
maka adalah layak baginya bahwa ia harus mempertanggungjawabkan semua
perbuatannya.
•
kehendak
bebas manusia tidak berkontradiksi dengan Kemahakuasaan Tuhan Yang Mahapemurah
Perenungan
akan kesadaran diri dan kehendaknya serta tindakannya menetapkan bahwa kita
benar-benar bebas memilih tindakan yang hendak kita lakukan. Ini menetapkan
bahwa tindakan kita benar-benar atas dasar kehendak kita sendiri yang bebas,
tanpa paksaan “tangan-tangan gaib” dari luar diri kita, secara mandiri.
Di tinjau
dari sisi lain, perbuatan kita, adalah bagian dari al-wujudat al-imkaniyyah (keberadaan-keberadaan yang mungkin) , tidak ada bagian mana pun dari
semesta yang tidak beremanasi dari Wajib
al-Wujud. Dari sisi ini, seluruh perbuatan dan kehendak bebas kita tidak
terlepas dari dan adalah beremanasi dari Al-Wahid
Al-Qahhar, – yakni Dia Yang Mahasempurna dalam Ketunggalan dan
KekuasaanNya.
Kenyataan
bahwa seluruh perbuatan dan kehendak bebas kita beremanasi dariNya, sama sekali
tidak mengurangi makna dan realitas kemandirian dan kehendak bebas kita pada
saat melakukan suatu tindakan. Maka tidak ada kontradiksi antara kehendak bebas
manusia dan KemahakuasaanNya.
Bahwa
perbuatan manusia adalah benar-benar berdasarkan kehendak bebasnya dan ditinjau
dari sudut pandang lain sama sekali tidak terlepas dari KemahakuasaanNya adalah
pemahaman yang benar. Pemahaman ini biasanya disebut al-amru bayna al-amrayn , yakni bukan jabr (determinisme) murni, bukan pula tawfidh (pelimpahan) murni, namun sesuatu yang lain dari keduanya.
Jadi disini
adalah bahwa Tuhan tidak mencampurin urusan manusia dalam kehendaknya. Semua
pilihan itu murni dari manusia itu sendiri. Ketika kita mengambil pilihan dan
ternyata pilihan yang kita dapatkan tidak begitu memuaskan, maka kita harus
terima apa adanya. Begitu pula sebaliknya, jika kita dengan pilihan kita mendapatkan
kenikmatan yang membuat kita merasa bahagia, maka kita sebagai orang yang
beriman harus bersyukur.
0 on: "Apakah Tuhan Adil Dalam Masalah Sosial?"